Puasa kali ini berbeda dengan
puasa sebelumnya. Meskipun ini adalah kehamilan ke-3, tapi pada kehamilan yang
pertama lalu saya tidak sampai melewati puasa (baby pertama cuma sampe 6 bulan
and then lahir immature and passed awayL).
Sedang hamil ke-2 saat ramadhan masih trimester pertama so pasti tidak puasa
and then spontaneous complete abortionL.
Jadi ini adalah pengalaman pertama Ramadhan saat “hamil tua” alias trimester
ke-3.
Mestinya, menurut pemahaman teori
medis saya, kalo baby sudah masuk trimester 3, maka ibu hamil cukup aman untuk
puasa Ramadhan, as long as dia bisa menjaga keseimbangan intake nutrisinya dan
cairannya dengan baik pada saat sahur dan berbuka. Kalo pada saat trimester
pertama (1-3 bulan) rasanya rentan untuk berpuasa, karena janin sangat butuh
intake nutrisi baik makro maupun mikronutrien untuk pembentukan organ. Berbeda
dengan trimester ke-3 dimana semua organ –mestinya- sudah terbentuk dengan
baik, tinggal fase perkembangannya saja.
Tapi kurang sreg rasanya kalo
hanya berbekal pada minimnya pengetahuan saya saja. Well, dalam setiap kali
mengajar maupun “membantah ortu” (hehehe..) kan selalu meminta evidence
based-nya. makanya kali ini pun penasaran mengenai evidence based antara
pregnancy and fasting, alias kehamilan dan berpuasa (ramadhan).
Rupanya banyak penelitian yang
hasilnya saling bersingkuran (eh, berlawanan). Ada beberapa temuan yang
hasilnya positif, negative ato juga ada yang netral. Hmm, mungkin lebih enaknya
dibahas yang negative dulu kali yaa..
Dari American Journal of
Epidemiology tanggal 16 Agustus 2012, Reyn J.G van Ewijk dkk menuliskan Hubungan
Paparan Puasa Ramadhan Prenatal (sebelum kelahiran) dengan Perawakan Kurus dan
Kecil pada orang Dewasa, Hasil dari penelitian pada populasi yang besar di
Indonesia. Mereka menyampaikan bahwa pada muslim dewasa yang pada bulan
Ramadhan masih berada dalam kandungan ternyata lebih kurus dibanding muslim
dewasa yang pada saat mereka di kandungan tidak pada bulan Ramadhan.. (hayoo,
siapa yang bingung? Hehehe…). Mereka juga lebih pendek 0,80 cm. Hal ini tidak
didapatkan pada kelompok non muslim. Ini penelitian yang melibatkan populasi
yang cukup besar di Indonesia, yaitu sekitar 14.120 orang, sehingga sepintas
hasilnya pasti akurat, namun dari analisis pribadi saya, ada beberapa kelemahan
dalam penelitian ini, yaitu semua perempuan muslim yang hamil dianggap puasa,
kemudian rentang usia responden yang cukup besar yaitu antara 18-89 tahun,
kemudian faktor lain yang mempengaruhi seperti tingkat sosial, ekonomi dan juga
tingkat pendidikan orangtua responden diabaikan, juga genetic factor dan
lifestyle, padahal jelas semua faktor tersebut berpengaruh.
Sedangkan Sarita Bajaj dkk dalam
Indian Journal of Endocrinology &
Metabolism yang di-release pada 1 Juli 2012, dalam artikelnya yang
berjudul: “South Asian Consensus Statement on Women’s Health and Ramadhan” menyampaikan
resume dari banyak penelitian. Mereka menyarankan agar wanita hamil dan
menyusui untuk tidak berpuasa, terutama apabila puasa menyebabkan mereka dalam
kondisi yang berbahaya bagi mereka dan terutama bagi janinnya. Beberapa efek
puasa dalam penelitian yang disitir oleh mereka adalah: meningkatnya resiko
hiperemesis gravidarum (muntah berlebihan pada kehamilan) terutama pada
kehamilan trimester pertama, meningkatnya prevalensi infeksi saluran kencing,
penurunan gerakan nafas janin (fetal breathing movement), gangguan/stress pada
janin, kondisi kesehatan yang lebih buruk ketika bayi sudah lahir. Selain itu,
disebutkan pula adanya gangguan anemia (kurang darah) pada ibu hamil yang
berpuasa, sehingga menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Oleh karena itu, Sarita
dkk menyarankan jika Ibu hamil tersebut tetap memaksakan diri untuk berpuasa
maka untuk menghindari efek lebih buruk maka sebaiknya: puasa berselang-seling,
sewaktu-waktu jika berbahaya maka puasa harus dibatalkan, pengaturan gizi harus
dilakukan (misalnya karbohidrat kompleks saat sahur dan karbohidrat sederhana
saat berbuka puasa).
Selain dari dua artikel diatas,
beberapa hasil penelitian yang saya dapatkan antara lain sebagai berikut:
* Ebru Dikensoy dkk, dalam Journal of Obstetric Gynecology volume 34, no. 4: 494-498, Agustus
2008, judul: “Effect of Fasting during
Ramadhan on Fetal Development and Maternal Health” menyimpulkan bahwa:
Puasa Ramadhan tidak menyebabkan ketonemia maupun ketonuria pada Ibu hamil, oleh
karena itu tidak memiliki efek yang signifikan pada pertumbuhan dan kesehatan
janin.
* Deniz Hizli dkk, dalam Journal of Maternal and Neonatal Medicine, bulan Juli 2012 dengan
judul: “Impact of Maternal Fasting during
Ramadhan on Fetal Doppler Parameters, Maternal Lipid Levels and Neonatal Outcomes”,
menghasilkan kesimpulan bahwa pada perempuan hamil yang berpuasa tidak memiliki
efek samping pada pengukuran indeks cairan amnion, fetal Doppler dan parameter
persalinan.
* Vahid Ziaee dkk, dalam Iran Journal of Pediatric pada Juni 2010 dengan judul: “The Effect of Ramadhan Fasting on Outcome of
Pregnancy” menyimpulkan bahwa pada wanita yang sehat dengan intake nutrisi
yang layak, puasa tidak memiliki efek negative pada pertumbuhan janin dan persalinan,
akan tetapi pada kelompok Ibu hamil trimester pertama yang puasa terdapat
sedikit resiko bayi terlahir dengan berat badan rendah 1,5 kali dibanding
kelompok yang tidak puasa.
* Maryam Moradi, dalam Journal of Research in Medical Sciences Februari 2011 dengan judul:
“The Effect of Ramadhan Fasting on Fetal
Growth and Doppler Indices of Pregnancy” menyimpulkan bahwa puasa Ramadhan
tidak memiliki efek samping terhadap pertumbuhan janin, volume cairan amnion
dan sirkulasi fetomaternal (Ibu ke janin).
* Azizi F dkk dengan artikelnya berjudul: “Intellectual Development of Children Born of
Mother who Fasted in Ramadhan during Pregnancy” dalam International Journal for Vitamin and Nutritional Research pada
September 2004, menunjukkan dari dua kelompok yang diobservasi (anak dari ibu
yang berpuasa dan tidak berpuasa), tidak ada perbedaan yang signifikan pada IQ
kedua kelompok tersebut. Sehingga disimpulkan bahwa puasa pada saat kehamilan
tidak mempengaruhi kecerdasan (IQ) dari anak yang dilahirkan.
Mestinya masih banyak lagi
penelitian lainnya kalo mau browse sendiri, saya aja nemu ratusan, belum termasuk
yang review penelitian, kalo mau cari sendiri monggo, cukup dengan keywords:
fasting & pregnancy… and Woilaaa! Pasti keluar ribuan J
Anyway, diantara sekian
penelitian tadi, ada satu artikel yang merupakan review dari banyak penelitian,
tulisan dari Fiona Cross-Sudworth yang ditampilkan oleh British Journal of
Midwifery pada Februari 2007 yang saya suka esensinya. Bahwa puasa tidak
berdampak buruk (baik pada diri maupun janin) pada perempuan hamil dengan
status gizi yang baik dan kehamilan resiko rendah, namun akan memiliki efek buruk
yang nyata jika dilakukan oleh perempuan hamil yang kurang gizi dan memiliki
riwayat kesehatan/kehamilan yang buruk.
So, semoga dengan tulisan singkat
ini bisa menambah khasanah pengetahuan bagi para ibu hamil yang sedang aktif mencari
informasi tentang hubungan puasa dan kehamilan. Apakah sebaiknya puasa atau
tidak, silahkan ditelaah kembali pertanyaan-pertanyaan ini: (1) Berapa umur
kehamilan saya? (2) Apakah saya dalam kondisi gizi baik/cukup? (3) Apakah saya memiliki
riwayat kesehatan/kehamilan yang buruk? dst. Paling tidak jika Ibu memutuskan
untuk berpuasa, maka pada saat sahur dan berbuka, yakinkan Ibu telah mengkonsumsi
makanan dan cairan dalam jumlah yang cukup dan berimbang, dan pastikan selalu
untuk memantau perkembangan janin anda selama puasa Ramadhan.. Oke Bunda?
Hamil memang selalu sarat dengan pengalaman aneka rupa, setiap bumil pasti punya cerita unik dan berbeda. hehehe :*
ReplyDeleteAda tips nie, jika bunda lagi hamil coba deh selalu mengkonsumsi daftar makanan sehat untuk ibu hamil muda supaya bunda mudah menjalani masa kehamilannya dan tentunya anak dapat lahir dengan sehat dan cerdas.