“Ma, Ayah pulang….”
Mak dheg… ha?
Segera loncat ke depan ngeliat siapa yang datang. Ternyata … tidak ada
siapa-siapa, dan si K terkekeh kegirangan 😜
Kejadian sore
tadi setengah menggemaskanku dan setengahnya lagi tentunya mengiris-ngiris
batin. Well, I think it’s
about the time… Karena suatu sore beberapa hari yang lalu K bertanya:“Ayahku dimana
Ma?” 😢
Pertanyaan itu membuatku
tercenung…. Meskipun dari awal sudah aku persiapkan jawaban sebaik-baiknya,
namun ketika pertanyaan itu muncul dari bibir mungilnya, tak urung membuat hati
ini rasanya perih dan mata ini tanpa dikomando terasa tergenang.
Yeah, ini
adalah salah satu risiko yang dihadapi ketika memutuskan untuk bercerai disaat
anak masih sangat belia, masih balita…. No, masih bayi tepatnya. K hanya
“pernah” melihat ayahnya 2 minggu saja saat dia lahir, setelah itu hingga usia
3,5 tahun ini tak sekalipun ia pernah melihat ayahnya kecuali melalui foto-foto
yang ditunjukkan padanya. Suara ayahnya dia dengarkan sampai dia berumur 3
tahun melalui telepon, setelah dia berusia 3 tahun tepat, tak sekalipun ayahnya
menelponnya. Maka sudahlah tak pernah bertatap muka, tak pernah lagi pula K mendengar
suara ayahnya lagi. Tak usah dicari siapa yang salah, jelaslah andil ayah dan mamanya
ini yang membuat K tidak dapat menikmati “kesempurnaan” orang tua.
Anyway,
Ini bukanlah
saat yang tepat untuk sedih ataupun mungkin menyesali atas keputusan yang
diambil. Justru ini adalah saat yang tepat untuk memberikan penjelasan yang
terbaik pada anak. Entah apakah dia akan memahami atau hanya akan
mengangguk-ngangguk saja, yang paling penting sampaikan saja. Kelak ia akan
memahaminya. Prinsip itulah yang aku pegang saat ini. Sampaikan apa adanya,
dengan bahasa yang sederhana, dan tentunya sampaikan yang baik, tanpa kebencian
atau menjelek-jelekkan. Kenapa begitu? Karena aku tak mau anakku tumbuh dengan rasa
benci dalam hatinya. Rasa benci yang kita tanamkan. Tidak! Biarkan kelak ia
yang menilai sendiri, tentang mamanya, tentang ayahnya, tentang “keegoisan”
kami, biarkan…. Karena kebencian itu, jangankan pada anak, pada orang dewasa
saja memberikan dampak yang luar biasa, secara psikis dan tak jarang memberikan
dampak pada fisik pula, yang sering disebut sebagai gangguan psikosomatis.
Lalu jawaban apa
yang harus diberikan pada anak sekecil itu? Entahlah dengan orang lain, namun
yang selalu kuberikan pada K adalah: “Ayah ada, jauh di Papua, sedang bekerja
dan belum bisa datang untuk menengok kita”. That’s all. Does it work? I dunno…
entahlah, belum bisa dilihat dampaknya juga pada dia. Namun belajar dari
pengalaman, semenjak bayi, disaat paling intim yaitu saat menyusuinya, aku
selalu mengajak K bicara. Aku sampaikan pada K, bahwa kami berbeda dengan
keluarga lain. Bahwa ayahnya jauh, dan Mama harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan kami. Bahwa kadang Mamanya ini harus meninggalkan dia sementara,
bertugas keluar kota atau untuk menyelesaikan sekolah, semua demi masa depan
kami. Sembari memintanya untuk bersabar, mengatakan padanya bahwa hal ini akan
menguatkannya dan akan membuatnya tumbuh menjadi anak yang tangguh, menjadi
perempuan yang tangguh… Dan Alhamdulillah, sampai detik ini, K adalah anak
yang memiliki pengertian yang tinggi, seolah telah memiliki kedewasaannya
sendiri, meskipun kadang ada rasa bersalah telah membuatnya dewasa sebelum
waktunya. Tapi sungguh bersyukur sekali, bahwa hingga saat ini, jika ditinggal
ke kantor atau keluar kota selama beberapa hari, K tidak pernah rewel. Bahkan
akhir-akhir ini kalau ditinggal pamitan dia yang malah bilang “Mama jangan
nangis yaaa…. 😂”.
Apakah K kemudian lebih lengket ke pengasuhnya? Tidak. Saat aku dirumah, maka
“terpinggirkanlah” mbak-nya dan K kembali menempel pada Mamanya ini. 💓💕
Dari sini aku belajar,
bahwa nampaknya –dan semoga- it’s ok to tell the baby tentang kondisi yang
tengah kita hadapi. Tentu bukan dalam rangka berkeluh kesah atau menumpahkan
kekesalan terhadap “mantan”, namun lebih
kepada memberikan pemahaman kepada anak atas apa yang terjadi.
Be honest, tell the truth, in a good way….
Semoga saja dengan semua yang dihadapi saat ini, kelak anak-anak kita mampu memahami serta bertumbuh menjadi anak-anak yang kuat
menghadapi segala permasalahan dalam hidupnya….🙏💙💚💛💜
*Tulisan ini
dibuat bukan dalam rangka membuka aib atau berkeluh kesah, namun semata hanya ingin
berbagi tentang bagaimana membesarkan anak sebagai seorang Ibu tunggal. Semoga
dapat bermanfaat bagi para ibu tunggal yang lain dan mengkayakan pengalaman
kita masing-masing 🙆
*Re2017
Semangaat mom... :)
ReplyDeleteTerimakasih..... :)
Deletesemoga kay jadi anak sehat cerdas kuat
ReplyDeleteAamiin yaa Rabb.... Thanks doanya yaaa :)
DeleteSampe netes air mata bacanya,, sama persis yg aq alami. Semangat trs yaa..
ReplyDeleteTerima kasih.... semangat juga yaaa *hug
Delete